Jika ada yang bertanya, kok judulnya operasi lepas pen yang menegangkan? Emang operasi pasang pen tidak menegangkan? Jawabannya adalah justru dari pengalaman pertama yaitu waktu pasang pen-lah makanya operasi lepas pen adalah salah satu momen yang paling menegangkan dalam hidup saya.
Hampir dua tahun yang lalu, saya dioperasi pemasangan pen di tulang bahu depan(clavicula). Sebelum operasi saya mendapat dukungan moril dari teman-teman. Saya diyakinkan bahwa operasi pasang pen adalah operasi kecil dan hanya sebentar.Tidak usah khawatir. Saya pun menjadi tenang. Menjelang operasi, saya sangat percaya diri. Tidak ada kekhawatiran tentang operasi yang akan saya jalani. Sangat tenang. Saya akan dibius, kemudian dokter memasang pen di tulang saya, selesai, saya akan sadar dan semua sudah beres. Begitulah bayangan saya tentang operasi ini.
Sebelum operasi, kita diharuskan berpuasa. Hari Senin,Pukul 10 pagi, persiapan operasi mulai dilakukan. Saya sudah memakai pakaian operasi. Jam 11-an saya mulai di bawa ke ruang operasi. Sesampainya di depan pintu ruang operasi saya menunggu sampai jam 12-an. Mungkin di dalam sedang ada operasi, sehingga saya harus menunggu giliran. Suasana hati saya tidak berubah. Sangat tenang. Kemudian saya di bawa masuk ke ruang operasi. Pembiusan saya ingat dilakukan penyuntikan dua kali. Suntikan pertama tidak terasa apa-apa. Suntikan kedua, tidak sampai satu menit, saya sudah tidak sadarkan diri.Sekitar pukul 14.30(perkiraan saya, karena waktu saya sampai diruangan rawat inap sektar pukul 15.-an), saya mulai sadar. Samar-samar saya melihat tim medis yang mengoperasi saya. Kemudian saya merasakan ada yang mencabut selang panjang yang dimasukkan ke dalam mulut saya. Ujungnya sempat mengenai gigi saya sewaktu dicabut dan berbunyi :"tuk". Mungkin itu alat bantu pernapasan. Kemudian saya didorong ke sebelah pasien yang mungkin baru selesai dioperasi juga. Kemudian saya dipasangkan masker oksigen yang ditutupkan ke mulut. Perasaan tidak nyaman sehabis operasi dan sedikit sesak, membuat saya malah ketakutan ketika dipasangkan masker oksigen. Saya semakin merasa tidak bisa bernapas karena mulut dan hidung ditutup masker itu. Karena belum bisa bicara saya hanya melambai-lambaikan tangan minta dilepas maskernya, hingga pasien sebelah saya memanggil dokter. Ketika tim medis mendekat, tanpa berkata-kata dia langsung melepas masker dan menyuruh perawat membawa saya kembali ke ruang rawat inap.Dalam perjalanan ke ruang rawat inap, rasa sesak itu masih dirasakan. Saya mencoba menenangkan diri. Saya sudah sadar penuh, tapi masih sangat lemah. Di luar, keluarga saya sudah menunggu. Mereka langsung mengikuti suster yang membawa saya. Saya bilang ke mereka, saya merasa sesak dan merasa susah napas.Sesampainya di ruangan rawat inap, rasa sesak itu tidak hilang. Kemudian ibu saya menyampaikan ke suster bahwa saya sesak. Akhirnya suster mengambil inisiatif,:" Dikasih oksigen aja ya?" kata susternya. Susternya pun mengambil alat oksigen seperti tabung, yang ada selang yang ujungnya ditempelkan ke lubang hidung. Saya merasakan ada hembusan udara dihidung saya. Mungkin itu oksigen dari tabung itu. Alhamdulillah beberapa saat kemudian, saya merasa lebih baik. Rasa sesak itu mulai hilang. Ketakutan saya pun berangsur-angsur juga hilang. Saya sudah lebih tenang, hanya lemas saja.
Dari pengalaman itu, setiap ingat operasi, napas saya serasa sesak. Mungkin cuma sugesti atau sedikit trauma, tapi itu sangat mengganggu saya. Saya pun berinisiatif memeriksakan paru-paru saya jangan-jangan ada masalah. Saya pun dites pernapasan memakai alat yang selangnya dimasukkan ke mulut,kemudian menarik napas dari mulut dan dihembuskan sekencang-kencangnya lewat mulut juga. Hasilnya bagus.Kesimpulan dokter tidak ada masalah.
Hampir dua tahun sudah operasi pasang pen berlalu. Tibalah saatnya untuk melepas pen. Sejujurnya, bayangan susah napas dan sesak sehabis operasi cukup menakutkan saya. Untuk menguatkan mental, saya pun bertekad untuk berolahraga. Setidaknya saat operasi, tubuh saya, paru-paru, jantung, dan lain-lain dalam kondisi fit. Setelah browsing di interntet, ada tiga jenis olahraga yang masuk kategori yang saya butuhkan. Jogging, renang, dan bersepeda. Untuk jogging, olahraga jenis ini adalah yang murah meriah. Tapi kendalanya adalah saya paling tidak kuat lari. Sedangkan renang, ini mungkin termasuk olahraganya orang kaya. Hanya orang-orang berkantong tebal yang punya kolam renang di rumahnya. Mudah-mudahan beberapa tahun ke depan saya mampu memiliki kolam renang + rumah yang nyaman.... ^^ . Bisa saja ke kolam renang umum. Tapi jadi sediki t ribet. Kita harus meluangkan waktu ke sana, dan tetap beli tiket juga setiap ke sana. Akhirnya pilihan jatuh pada olahraga bersepeda. Memang, kita harus beli sepeda terlebih dahulu, tetapi setelah itu, tidak ada lagi biaya yang kita keluarkan selain tekad yang kuat saja. Paling cuma perawatan saja. Setelah melihat kesana kemari akhirnya beli sepeda merk Genio seharga Rp. 1.200.000,-. Kalau saya perhatikan, lebih murah beli di toko sepeda daripada beli di mall. Tapi di mall, lebih banyak pilihannya dari berbagai merk.
Saya pun mulai bersepeda hampir setiap hari. Kalau senin sampai jumat, saya bersepeda dari pukul 06 sampai 06.30.Setengah jam. Kalau hari sabtu dan minggu, berhubung jalanan agak sepi, saya mengambil rute agak jauh, sehingga saya bersepeda sekitar 1 jam-an. Awalnya yang saya rasakan hanya capek saja. Tetapi setelah beberapa lama saya mulai merasakan manfaatnya. Badan terasa lebih segar dan sehat.
Akhirnya hari operasi tiba. Ketakutan itu masih menghantui. Saya masuk rumah sakit pada hari jumat sore. Pada sabtu pagi, saya mulai dipasangkan infus dan pakaian operasi. Saya pun diberikan terapi inhaler yaitu seperti alat bantu pernapasan yang telah diberikan obat dan kita hisap dari maskernya. Memang, sebelum operasi saya selalu menceritakan ke dokter perihal sesak yang saya alami sehabis operasi. Saya pun menceritakan ke dokter anastesi(pembiusan) bahwa saya sudah sadar ketika tim operasi mencabut selang pernapasan dari mulut saya. Saya tidak tahu, apakah saya terlalu cepat sadar atau operasinya yang berjalan lebih lama dari perkiraan. Sekitar pukul 08.30 saya mulai dibawa ke ruang operasi. Jam 9-an saya sudah masuk ruang operasi. Suasana hati saya sangat berbeda dari operasi pertama saya yang sangat tenang. Saya sangat tegang. Tapi saya selalu menguatkan diri dengan bersandar pada Allah. Saya selalu beristighfar untuk menenangkan hati. Di ruang operasi, entah karena suhu ruangan yang dingin atau karena rasa takut atau karena keduanya badan saya sedikit gemetar. Saya yakin tim operasi, yang saat itu baru dua orang yang di dekat saya yaitu yang melakukan pembiusan, tahu saya gemetar. Malu juga sebenarnya. Tapi biarlah, mudah-mudahan melihat saya yang ketakutan ini mereka jadi lebih hati-hati. Kemudian dia bilang :" Kita mulai ya pak." Kemudian dia lanjutkan, " Berdoa ya pak." Saya pun beristghfar dan membaca syahadat. Dalam operasi lepas pen ini, saya disuntik empat kali. Yang pertama, tanpa bicara apa-apa saya langsung disuntik. Kemudian ada menginstruksikan " xxxx 1 cc" . Saya lupa nama obat yang disebutkannya. Setelah itu " xxxx 2 cc" . Sampai suntikan ketiga saya belum merasakan apa-apa. Kemudian dia melanjutkan instruksinya ke rekannya yang melakukan penyuntikan. " xxxxx". Tanpa menyebutkan cc-nya. Ketika mulai disuntikkan, saya mulai merasa sedikit pusing. Selama penyuntikkan saya tidak putus bersitighfar dan bersyahadat. Hanya beberapa detik saat penyuntikkan keempat, saya sudah tidak sadarkan diri. Saya bahkan tidak sempat melihat, suntikkan keempat dicabut dari selang infus.
Ketika mulai sadar, saya mendapati diri saya di suatu ruangan, yang pasti bukan di ruang operasi tadi. Tim medis operasi sudah tidak ada. Saya melihat jam dinding pukul 11.30 atau 11.40 saya tidak begitu pasti. Ada masker alat bantu pernapasan terpasang di wajah saya menutupi mulut dan hidung. Tidak ada ketakutan terhadap masker itu karena saya bernapas normal. Saya lega sekali, pengalaman menakutkan saat operasi pasang pen tidak terulang.Sekitar pukul 12.30 saya mulai dibawa kembali ke ruang rawat inap. Tidak ada keluhan. Alhamdulillah, hanya saya merasakan sedikit gejala maag. Mungkin saya puasa menjelang operasinya terlalu lama. Karena sehabis makan malam menjelang operasi,sebelum maghrib, saya tidak makan apa-apa lagi. padahal saya diwajibkan puasa setelah pukul 00.00 dini hari.
Berikut perbandingan operasi pasang pen dan lepas pen yang saya jalani
Hampir dua tahun yang lalu, saya dioperasi pemasangan pen di tulang bahu depan(clavicula). Sebelum operasi saya mendapat dukungan moril dari teman-teman. Saya diyakinkan bahwa operasi pasang pen adalah operasi kecil dan hanya sebentar.Tidak usah khawatir. Saya pun menjadi tenang. Menjelang operasi, saya sangat percaya diri. Tidak ada kekhawatiran tentang operasi yang akan saya jalani. Sangat tenang. Saya akan dibius, kemudian dokter memasang pen di tulang saya, selesai, saya akan sadar dan semua sudah beres. Begitulah bayangan saya tentang operasi ini.
Sebelum operasi, kita diharuskan berpuasa. Hari Senin,Pukul 10 pagi, persiapan operasi mulai dilakukan. Saya sudah memakai pakaian operasi. Jam 11-an saya mulai di bawa ke ruang operasi. Sesampainya di depan pintu ruang operasi saya menunggu sampai jam 12-an. Mungkin di dalam sedang ada operasi, sehingga saya harus menunggu giliran. Suasana hati saya tidak berubah. Sangat tenang. Kemudian saya di bawa masuk ke ruang operasi. Pembiusan saya ingat dilakukan penyuntikan dua kali. Suntikan pertama tidak terasa apa-apa. Suntikan kedua, tidak sampai satu menit, saya sudah tidak sadarkan diri.Sekitar pukul 14.30(perkiraan saya, karena waktu saya sampai diruangan rawat inap sektar pukul 15.-an), saya mulai sadar. Samar-samar saya melihat tim medis yang mengoperasi saya. Kemudian saya merasakan ada yang mencabut selang panjang yang dimasukkan ke dalam mulut saya. Ujungnya sempat mengenai gigi saya sewaktu dicabut dan berbunyi :"tuk". Mungkin itu alat bantu pernapasan. Kemudian saya didorong ke sebelah pasien yang mungkin baru selesai dioperasi juga. Kemudian saya dipasangkan masker oksigen yang ditutupkan ke mulut. Perasaan tidak nyaman sehabis operasi dan sedikit sesak, membuat saya malah ketakutan ketika dipasangkan masker oksigen. Saya semakin merasa tidak bisa bernapas karena mulut dan hidung ditutup masker itu. Karena belum bisa bicara saya hanya melambai-lambaikan tangan minta dilepas maskernya, hingga pasien sebelah saya memanggil dokter. Ketika tim medis mendekat, tanpa berkata-kata dia langsung melepas masker dan menyuruh perawat membawa saya kembali ke ruang rawat inap.Dalam perjalanan ke ruang rawat inap, rasa sesak itu masih dirasakan. Saya mencoba menenangkan diri. Saya sudah sadar penuh, tapi masih sangat lemah. Di luar, keluarga saya sudah menunggu. Mereka langsung mengikuti suster yang membawa saya. Saya bilang ke mereka, saya merasa sesak dan merasa susah napas.Sesampainya di ruangan rawat inap, rasa sesak itu tidak hilang. Kemudian ibu saya menyampaikan ke suster bahwa saya sesak. Akhirnya suster mengambil inisiatif,:" Dikasih oksigen aja ya?" kata susternya. Susternya pun mengambil alat oksigen seperti tabung, yang ada selang yang ujungnya ditempelkan ke lubang hidung. Saya merasakan ada hembusan udara dihidung saya. Mungkin itu oksigen dari tabung itu. Alhamdulillah beberapa saat kemudian, saya merasa lebih baik. Rasa sesak itu mulai hilang. Ketakutan saya pun berangsur-angsur juga hilang. Saya sudah lebih tenang, hanya lemas saja.
Dari pengalaman itu, setiap ingat operasi, napas saya serasa sesak. Mungkin cuma sugesti atau sedikit trauma, tapi itu sangat mengganggu saya. Saya pun berinisiatif memeriksakan paru-paru saya jangan-jangan ada masalah. Saya pun dites pernapasan memakai alat yang selangnya dimasukkan ke mulut,kemudian menarik napas dari mulut dan dihembuskan sekencang-kencangnya lewat mulut juga. Hasilnya bagus.Kesimpulan dokter tidak ada masalah.
Hampir dua tahun sudah operasi pasang pen berlalu. Tibalah saatnya untuk melepas pen. Sejujurnya, bayangan susah napas dan sesak sehabis operasi cukup menakutkan saya. Untuk menguatkan mental, saya pun bertekad untuk berolahraga. Setidaknya saat operasi, tubuh saya, paru-paru, jantung, dan lain-lain dalam kondisi fit. Setelah browsing di interntet, ada tiga jenis olahraga yang masuk kategori yang saya butuhkan. Jogging, renang, dan bersepeda. Untuk jogging, olahraga jenis ini adalah yang murah meriah. Tapi kendalanya adalah saya paling tidak kuat lari. Sedangkan renang, ini mungkin termasuk olahraganya orang kaya. Hanya orang-orang berkantong tebal yang punya kolam renang di rumahnya. Mudah-mudahan beberapa tahun ke depan saya mampu memiliki kolam renang + rumah yang nyaman.... ^^ . Bisa saja ke kolam renang umum. Tapi jadi sediki t ribet. Kita harus meluangkan waktu ke sana, dan tetap beli tiket juga setiap ke sana. Akhirnya pilihan jatuh pada olahraga bersepeda. Memang, kita harus beli sepeda terlebih dahulu, tetapi setelah itu, tidak ada lagi biaya yang kita keluarkan selain tekad yang kuat saja. Paling cuma perawatan saja. Setelah melihat kesana kemari akhirnya beli sepeda merk Genio seharga Rp. 1.200.000,-. Kalau saya perhatikan, lebih murah beli di toko sepeda daripada beli di mall. Tapi di mall, lebih banyak pilihannya dari berbagai merk.
Saya pun mulai bersepeda hampir setiap hari. Kalau senin sampai jumat, saya bersepeda dari pukul 06 sampai 06.30.Setengah jam. Kalau hari sabtu dan minggu, berhubung jalanan agak sepi, saya mengambil rute agak jauh, sehingga saya bersepeda sekitar 1 jam-an. Awalnya yang saya rasakan hanya capek saja. Tetapi setelah beberapa lama saya mulai merasakan manfaatnya. Badan terasa lebih segar dan sehat.
Akhirnya hari operasi tiba. Ketakutan itu masih menghantui. Saya masuk rumah sakit pada hari jumat sore. Pada sabtu pagi, saya mulai dipasangkan infus dan pakaian operasi. Saya pun diberikan terapi inhaler yaitu seperti alat bantu pernapasan yang telah diberikan obat dan kita hisap dari maskernya. Memang, sebelum operasi saya selalu menceritakan ke dokter perihal sesak yang saya alami sehabis operasi. Saya pun menceritakan ke dokter anastesi(pembiusan) bahwa saya sudah sadar ketika tim operasi mencabut selang pernapasan dari mulut saya. Saya tidak tahu, apakah saya terlalu cepat sadar atau operasinya yang berjalan lebih lama dari perkiraan. Sekitar pukul 08.30 saya mulai dibawa ke ruang operasi. Jam 9-an saya sudah masuk ruang operasi. Suasana hati saya sangat berbeda dari operasi pertama saya yang sangat tenang. Saya sangat tegang. Tapi saya selalu menguatkan diri dengan bersandar pada Allah. Saya selalu beristighfar untuk menenangkan hati. Di ruang operasi, entah karena suhu ruangan yang dingin atau karena rasa takut atau karena keduanya badan saya sedikit gemetar. Saya yakin tim operasi, yang saat itu baru dua orang yang di dekat saya yaitu yang melakukan pembiusan, tahu saya gemetar. Malu juga sebenarnya. Tapi biarlah, mudah-mudahan melihat saya yang ketakutan ini mereka jadi lebih hati-hati. Kemudian dia bilang :" Kita mulai ya pak." Kemudian dia lanjutkan, " Berdoa ya pak." Saya pun beristghfar dan membaca syahadat. Dalam operasi lepas pen ini, saya disuntik empat kali. Yang pertama, tanpa bicara apa-apa saya langsung disuntik. Kemudian ada menginstruksikan " xxxx 1 cc" . Saya lupa nama obat yang disebutkannya. Setelah itu " xxxx 2 cc" . Sampai suntikan ketiga saya belum merasakan apa-apa. Kemudian dia melanjutkan instruksinya ke rekannya yang melakukan penyuntikan. " xxxxx". Tanpa menyebutkan cc-nya. Ketika mulai disuntikkan, saya mulai merasa sedikit pusing. Selama penyuntikkan saya tidak putus bersitighfar dan bersyahadat. Hanya beberapa detik saat penyuntikkan keempat, saya sudah tidak sadarkan diri. Saya bahkan tidak sempat melihat, suntikkan keempat dicabut dari selang infus.
Ketika mulai sadar, saya mendapati diri saya di suatu ruangan, yang pasti bukan di ruang operasi tadi. Tim medis operasi sudah tidak ada. Saya melihat jam dinding pukul 11.30 atau 11.40 saya tidak begitu pasti. Ada masker alat bantu pernapasan terpasang di wajah saya menutupi mulut dan hidung. Tidak ada ketakutan terhadap masker itu karena saya bernapas normal. Saya lega sekali, pengalaman menakutkan saat operasi pasang pen tidak terulang.Sekitar pukul 12.30 saya mulai dibawa kembali ke ruang rawat inap. Tidak ada keluhan. Alhamdulillah, hanya saya merasakan sedikit gejala maag. Mungkin saya puasa menjelang operasinya terlalu lama. Karena sehabis makan malam menjelang operasi,sebelum maghrib, saya tidak makan apa-apa lagi. padahal saya diwajibkan puasa setelah pukul 00.00 dini hari.
Berikut perbandingan operasi pasang pen dan lepas pen yang saya jalani
- Dokter yang terlibat aktif saat pasang pen (yang saya tahu) : Orthopedi,Anastesi, Syaraf. Sedangkan pada lepas pen : Orthopedi, Anastesi, Paru. Mungkin dokter parunya tidak terlibat saat operasi, tapi menjelang operasi dia dua kali datang dan memberi obat.
- Saat sadar : Waktu pasang pen, saya sudah sadar saat tim operasi mencabut selang dari dalam mulut saya, dan saya masih melihat mereka di sekeliling saya. Sedangkan pada lepas pen, ketika saya sadar saya berada di ruangan yang lain, suasana hening dan tenang dan saya tidak melihat siapapun selain ada petugas satu orang. itu pun tidak di sebelah saya.
- Keluhan : Sehabis operasi pasang pen saya merasakan sesak dan susah bernapas. Pada operasi lepas pen saya tidak merasakan keluhan itu. Saya bernapas teratur. Normal. Tenang.
- Biaya : Pada pasang pen total biayanya sekitar 18-20 juta. Saya lupa persisnya. Biaya yang ditanggung askes sekitar 4 jutaan. Saya di ruang kelas I. Pada operasi lepas pen total biayanya Rp. 7.840.039,-. Biaya yang ditanggung askes Rp. 3.135.599,-. Saya harus membayar sendiri sejumlah Rp. 4.704.440,-. Kalau saya perhatikan, biaya yang paling besar adalah biaya obat yang di luar tanggungan askes yaitu sejumlah Rp. 3.881.039,-